Barang siapa belum pernah merasakan pahitnya mencari ilmu walau sesaat.
Ia akan menelan hinanya kebodohan sepanjang hidupnya.
(Imam Syafi’i).
“Tanpa pengetahuan, tindakan tidak berguna dan pengetahuan tanpa tindakan adalah sia – sia”.
(Abu Bakar As Shiddiq RA).
By LPI nurhikmah | Published | No Comments
Seri Guru Menulis
Wiro merenung dipinggir Sungai, berfikir, kenapa dirinya ditolak menjadi murid oleh seorang guru silat. Sedangkan dirinya yakin mampu menjadi pesilat hebat. “Tolooong, toloong” tiba-tiba suara jeritan perempuan meminta tolong. “Wusss” tanpa piker panjang Wiro melesat mencari sumber suara. Terlihat seorang perempuan dihadang oleh 5 orang preman. Wiro langsung melawan dan menolong perempuan tersebut. Walaupun dengan wajah dan badan yang babak belur dia mampu menolong. “Bagus Wiro” terdengar suara yang familiar dari atas. “Siapa engkau” tanya Wiro. “Aku gurumu, datang kembali ke rumahku jika engkau ingin menjadi muridku” jawab guru, yang sebelumnya menolak Wiro. Wiro akhirnya diterima menjadi murid silat gurunya. Seorang perempuan dan preman itu ternyata adalah hanya sebuah ujian bagi orang yang ingin menjadi murid sang Guru silat. Guru silat itu ingin menguji, karakter sifat calon muridnya.
Setelah menjadi murid yang setia dan menyerap ilmu silat dari gurunya, gurunya memanggil dan memberi nasihat terakhir. Bahwa gurunya pernah menerima murid dengan kecerdasan dan ketangkasan yang luar biasa hebatnya. Gurunya memberikan seluruh ilmunya tanpa memberikan kebijaksanaan hidup. Namun sekarang, kakak seperguruannya itu menjadi penjaga raja yang lalim. Karena keahliannya dia menjadi tangan kanan bagi raja yang lalim itu. Hidupnya bermewah-mewah. Kakak seperguruannya pun demikian, tidak jarang membela kejahilan dan kejahatan rajanya. Disitulah guru Wiro merasa bersalah telah memberikan seluruh ilmu silatnya kepada Kakak seperguruannya itu.
Sementara itu, di masa yang berbeda, seorang laki-laki “parlente” berdiri di depan wartawan, sepertinya bukan orang biasa-biasa. Diapit oleh dua penjaga. Laki-laki itu berdiri tegap. Dengan dagu terangkat. Tersenyum lebar. Berompi oranye. Tidak terlihat raut sedih, apalagi malu. Ya, laki-laki itu pejabat yang tertangkap karena melakukan korupsi. Karir yang dilalui laki-laki itu terbilang cemerlang, memperoleh pendidikan dari sekolah-sekolah ternama. Mencapai puncak pendidikan universitas terbaik di negeri ini.
Sekolah dan universitas laki-laki itu, bergedung megah dan luas. berdiri kokoh. berisi para guru besar dan ahli. Dengan rate rata-rata nasional selalu teratas. Bangga melahirkan lulusan yang tidak kaleng-kaleng. Sering dimintai saran dan pendapatnya untuk masalah-masalah besar. Selalu berbangga atas pencapaian lulusannya berprestasi.
Dua paragraf pertama di atas bercerita tentang sosok murid dan guru silat yang dengan hati hati memilih dan melatih calon muridnya. Dia melakukan hal tersebut atas, rasa bersalahnya yang mendalam karena mendidik dengan gegabah tanpa kebijaksanaan hidup. Akibat cara mendidiknya yang kurang bijak, dia melahirkan seorang yang tinggi Ilmunya sulit terkalahkan oleh orang lain. Gurunya merasa bersalah karena menciptakan monster menakutkan dalam dunia persilatan.
Sementara paragraf tiga dan empat, menceritakan sebuah realitas masa kini. Mulai dari hilangnya karakter dari sebuah pencapaian prestasi, hingga hilangnya rasa malu dalam diri Instansi pendidik atas perbuatan murid atau alumninya. Seolah jika telah keluar dari Instansi pendidikan tertentu, bersamaan dengan lepasnya administrasi, lepas pula-lah ikatan moral yang ada antara instansi dan peserta didik.
Hilangnya ikatan moral ini sebetulnya bersamaan dengan memudarnya urgensi akhlak dan moral dalam pendidikan di instansi itu sendiri. Dalam sistem pendidikan kita memang sebisa mungkin sudah diberikan tempat yang cukup memadai. Dalam kaitannya dengan perubahan kurikulum misalnya, setiap perubahan kurikulum pasti akan ada aspek sikap, karakter yang menonjol di dalamnya. Namun, dalam penerapannya, sebuah instansi katakanlah, masih terlihat gagap. Kesalahan terbesarnya terletak pada pengurus pendidikan di negeri ini yang kurang mampu men-capture kelemahan ini. Kegagapan ini terjadi bisa karena beberapa hal.
Pertama bisa karena Instansi ini tidak memandang serius urgensi moral dalam pendidikan. Mereka masih melihat secara klasik proses belajar mengajar hanya bertumpu kepada materi (pengetahuan) dan nilai. Semakin baik nilainya semakin bagus. Jika nilai baik akan mudah diterima di instansi lanjutan pilihan terbaik dan akan mendapakan rating atau persepsi (branding) yang tinggi. Kedua, aspek pendidik yang masih berpikir statis kurang berkembang. Apalagi untuk yang enggan berubah dari paradigma lama yang hanya perfokus pada transfer pengetahuan saja. Ketiga, dari sisi orang tua pendidik yang memiliki pengetahuan tentang pendidikan secara sederhana. Mereka biasanya berpikir ujung dari pendidikan adalah raport atau ijazah. Karena itulah yang akan bermanfaat untuk karir mereka ke depannya. Setidak-tidaknya tiga hal ini lah yang membuat memudarnya ikatan moral yang harusnya terjalin antara Instansi atau pendidik dengan peserta didiknya.
Penulis memiliki pendapat bahwa, ikatan moral harus tetap terjalin antara pendidik dan peserta didik. Karena sejatinya, hubungan antara guru dan murid bukanlah hubungan administratif atau hubungan yang terjalin karena sama-sama duduk di ruang kelas yang sama saja. Sebagai pendidik kita harus memandang bahwa anak didik sejatinya adalah anak ideologis dari pendidik tersebut. Seorang guru lah yang harus mengenali anak didiknya secara mendalam, sehingga mampu menemukan potensi dirinya. Seorang guru lah yang mampu membangun presepsi anak terhadap diri sendiri, sehingga anak didik bisa mampu percaya terhadap kemampuannya sendiri.
Dalam agama Islam relasi moral pendidik dan peserta didik tidak putus di dunia saja. Ketika seorang pendidik telah wafat terlebih dahulu, maka ketika anak didik mempraktikan semua hal yang diajarkannya oleh gurunya, berupa ilmu, amalan, dan kebijaksanaan hidup, maka sang pendidik anak memperoleh pahalanya secara terus menerus.
Sekolah dalam tingkat dasar, menengah, dan atas, harus malu dengan perilaku peserta didiknya yang berbuat perbuatan tercela misalnya perkelahian, tawuran, bullying, obat-obat terlarang, dan pergaulan yang menyimpang. Sehingga dengan rasa malu dan bersalahnya sekolah bisa mengevaluasi diri, berbenah agar anak didiknya berubah menjadi lebih baik.
Dalam kaitannya dengan instansi pendidikan level tertinggi universitas misalnya, mereka harusnya bukan hanya bangga terhadap prestasi alumninya. Akan tetapi juga merasa bersalah terhadap alumninya yang melakukan perbuatan tercela, apalagi perbuatan yang dilakukan berdampak nasional, seperti korupsi, perbuatan kekerasan, hingga perbuatan amoral.
Rasa bersalah harusnya lahir dari ikatan moral antara pendidik dan peserta didik. Dengan rasa ini kita akan melakukan proses pendidikan dengan sebaik mungkin. Melakukan upaya pencegahan-pencegahan yang mungkin akan terjadi dimasa depan.
Di LPI Nur Hikmah sendiri, Penulis melihat proses belajar tidak hanya bertumpu pada aspek transfer materi pengetahuan. Akan tetapi bertumpu pada spiritual dan akhlak sehingga peserta didik dapat mempraktikan akhlak yang baik, mandiri dalam hidup, dan berprestasi akademik secara optimal. Nur Hikmah melakukan sekuat tenaga untuk menguatkan pembelajaran yang memiliki ikatan batin antara guru dan siswa, melalui pendekatan agama dan psikologis. Mudah-mudahan kita terus menjaga ikatan itu, pada kehidupan dunia dan setelah kematian kita.
Penulis : Hendri Kurniawan